Latest Movie :

Review : The Hobbit 'An Unexpected Journey'

Review : The Hobbit 'An Unexpected Journey'
Dibawa dari novel The Hobbit karya J.R.R. Tolkien, film The Hobbit: An Unexpected Journey menjadi yang pertama dari satu lagi trilogi ambisius Peter Jackson. Sudah sembilan tahun lewat sejak film terakhir dari trilogi Jackson yang paling terkenal,The Lord of the Rings (LOTR), dirilis.

Kali ini, Bilbo Baggins (diperankan dengan baik oleh Martin Freeman) paman dari Frodo Baggins, sihobbit yang berkelana demi cincin itu) berkisah tentang pengalamannya yang ‘terpaksa’ ikut perjalanan bersama 13 kurcaci dan penyihir Gandalf (Sir Ian McKellen) untuk mengambil alih rumah mereka di Kerajaan Erebor, yang dulunya dirampas oleh naga maut Smaug. “Seperti kompor pakai sayap,” kata salah seorang kurcaci tentang naga itu. Perjalanan mereka tak selalu mulus, bertemu dengan kaum Orc (yang punya dendam kesumat pada kaum kurcaci) atau troll. DalamThe Hobbit juga hadir karakter-karakter yang sudah lebih dulu dikenal berkat LOTR, seperti ratu peri Galadriel (Cate Blanchett) dan Gollum (Andy Serkis).

Sama-sama trilogi, serta datang dari sutradara dan penulis naskah yang sama (Jackson, Fran Walsh, Philippa Boyens dan dengan tambahan Guillermo Del Toro), sulit bagi The Hobbit untuk tak dibandingkan denganLOTR. LOTR berhasil karena Jackson piawai mengawinkan cerita yang sangat kuat dengan majunya teknologi saat itu. Untuk The Hobbit, Jackson malah mengambil langkah kontroversial, yaitu menerapkan format high frame rate. Frame per detik untuk film konvensional adalah 24, dan Jackson melambungkannya menjadi 48frame per detik untuk The Hobbit.

Apa untungnya, dan apa akibatnya? Jackson berargumen bahwa dengan teknologi digital terkini yang semakin tinggi, ia punya kesempatan untuk memperkaya pengalaman menonton dalam bioskop. Imaji akan tampak lebih nyata, gerakan yang cepat tampil lebih jernih, dan segalanya terlihat lebih hidup dan jernih.

Dari sisi penonton, sekitar sepuluh menit pertama The Hobbit: An Unexpected Journey terasa secepat kilat, atau diburu-buru. Beberapa kritikus film menyebutnya sebagai efek format high frame rate tersebut. Efek yang lebih keras kemudian adalah imaji orang-orang yang saking bagusnya malah tampak seperti karakter dalam video game. Sebegitu nyata dan mulusnya hingga yang ada di layar terasa seperti buatan, atau bohongan, padahal The Hobbit bukan film animasi. Ini terutama terasa pada adegan penyerbuan naga maut Smaug ke Kerajaan Erebor di awal film.

Butuh beberapa saat agar mata jadi terbiasa dengan pemandangan yang terlalu indah ini, terutama dalam tampilan tokoh-tokohnya. Adegan beberapa pertempuran memang tampak jelas benar, setiap gerakan tangkas tertangkap dan kita seperti dilontarkan masuk ke dalamnya. Efek visual seperti gerakan hewan, Gollum, suasana di dalam Kerajaan Erebor dengan detail yang keterlaluan atau penampilan kaum Orc dan trolljuga pantas membuat kita takjub.

Untuk pemandangan alamnya (syuting dilakukan di Selandia Baru), The Hobbit mendesakkan hamparan gunung yang abu-abu dan perkasa, pemukiman Hobbit dengan pintu dan jendela rumah yang bundar, padang hijau tanpa batas, atau belasan air terjun yang sampai titik-titik airnya tampak begitu terang di layar. Untuk hal warna dan detail, paling tidak, format 48 frame per detik memang jadi pengalaman menonton yang gila-gilaan.

Cinta dan keterikatan Jackson pada Middle Earth bisa jadi sesuatu yang menguntungkan (akan sulit menandingi piawainya terjemahan Jackson dari buku ke layar lebar), tapi ia juga bisa terlalu menyulut ambisi Jackson untuk membuat yang kurang perlu. Semua kemewahan visual di The Hobbit butuh cerita sebagai punggung film, dan satu buku yang dipanjang-panjangkan menjadi tiga film (berdurasi panjang) bisa jadi masalah. Beberapa adegan bisa dihapus tanpa membuat rasa film jadi jomplang.

Sebagai yang pertama dari trilogi, The Hobbit berperan mematok mood dan situasi untuk kedua yang berikutnya. Walau sama sekali tidak jelek, tapi film ini kurang membangun perasaan. Dan betul, ada tema yang menyentuh seperti persahabatan, perjalanan, pencarian, sokongan alam dan penghuninya, pertempuran, atau si pecundang yang mendadak jadi pahlawan. Tapi tak seperti LOTR, tidak ada (atau belum?) rasa agung yang membuat LOTR menggugah bagi begitu banyak orang.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | M Saputra Tambun |
Copyright © 2013. Berita Film Terbaru dan Ulasan Film Terlengkap | Lorong Film - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Media Partner Lorong Musik
Proudly powered by Blogger